Menurut Rawls hak memiliki “nilai hak” (the worth of rights), sehingga penerapan hak-hak oleh negara tidaklah homogen, konsep hak asasi manusia memang bisa mempunyai kualitas yang objektif, tetapi implementasinya bergantung pada faktor subjektif yang bervariasi yaitu politik dan ekonomi. (Scott Davidson, 1994).
Jadi apa makna Asian Values ? Asian Value adalah pemikiran hak politik yang di gagas para pemimpin Asia pada periode 1970-1990an, seperti: Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew dan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad sebagai identitas politik yang membedakan Timur dan Barat. Mayoritas negara Barat berfikir kebebasan dan liberal sedangkan negara Timur meyakini prinsip kolektivitas.
Cina juga memilki pandangan tersendiri tentang Asian Value, dalam Deklarasi Bangkok tahun 1993 disebutkan bahwa: “Mengakui di samping hak asasi manusia bersifat universal, haruslah dipahami dalam konteks yang dinamis dan dalam proses pembentukan norma-norma (internasional) yang selalu berkembang, dengan memperhatikan kekhasan regional dan nasional serta beragam latar belakang historis, budaya dan keagamaan.”
Pandangan Cina terkait HAM yang dipengaruhi oleh Marxisme Tiongkok yang sangat berbeda dengan tradisi liberal Barat. Tradisi liberal Barat yang berbasis individualisme mengutamakan hak-hak sipil dan politik. Sebaliknya, pendekatan Marxis Tiongkok didasarkan pada kedaulatan anti-(neo) kolonial dan/atau anti-hegemonik, serta menolak campur tangan negara lain. Penetapan prioritas kedaulatan ini mengarah pada perhatian utama pada hak-hak sosial dan ekonomi, atau hak kesejahteraan sosial-ekonomi, yang di dalamnya terdapat hak-hak sipil, budaya, politik, dan lingkungan hidup. (Dongxin Shu, 2022)
Terkait Asian Value, Bung Karno Menyebutnya “Nation Building”, yakni membangun masyarakat dengan bertumpu pada kekhususan kultur yang berkembang secara indigenous dalam masyarakat seraya menolak identitas yang dipaksakan dari luar Indonesia memilik Volksgeits (jiwa bangsa) yaitu Pancasila yang sebenarnya bersifat universal. Dalam pidatonya di PBB 30 September 1960 dengan judul ”To Build the World a New”, Bung Karno mencetuskan Pancasila sebagai manifesto intelektual, politik dan ideologi yang bersifat internasional, “It gives us the five principle of our state. There are: 1. Believed in God, 2. Nationalism, 3. Humanity, 4. Democracy, 5. Social Justice. The five principles are combined reflections of Indonesia’s natural climate and the personality of its inhabitants”. Pancasila tidak hanya bersifat nasional keindonesiaan tetapi universal, sehingga Pancasila dikatakan sebagai ideologi perdamaian yang mendekatkan dan mempersatukan semua bangsa.