Penulis:
Pinky Putrileoni Safitri
Mahasiswi Jurusan Ekonomi Syariah
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Perbankan merupakan suatu badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk memberikan pembiayaan, pinjaman dan jasa keuangan lainnya yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Perbankan sebagai motor penggerak ekonomi mempunyai beberapa peranan, yakni menumbuhkan sektor usaha masyarakat, meningkatkan kemampuan ekonomi pengusaha & UMKM, dan sebagai sumber pendanaan.
Sampai saat ini pun, Bank masih menjadi sumber pendanaan utama, terbukti berdasarkan data dari Mandiri Research pada Mei 2015, outstanding loan sebesar Rp 375 trilliun, asset of financial institution sebesar Rp 5.838 trilliun dan bank debtors sebanyak 248.256.
Seiring maraknya kegiatan usaha yang dilakukan oleh bank, semakin banyak pula kesempatan yang akan timbul yang memungkinkan beberapa oknum melakukan tindakan kejahatan pada perbankan (Fraud Banking).
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 39 tahun 2019, Fraud adalah tindakan penyimpangan atau pembiaran yang sengaja dilakukan untuk mengelabui, menipu atau memanipulasi Bank, nasabah atau pihak lain, yang terjadi di lingkungan Bank dan/atau menggunakan sarana Bank sehingga mengakibatkan Bank, nasabah atau pihak lain menderita kerugian dan/atau pelaku fraud memperoleh keuntungan keuangan baik secara langsung maupun tidak langsung.
Hal-hal yang dapat diklasifikasikan sebagai fraud berdasarkan POJK diatas ialah kecurangan, penipuan, penggelapan asset, pembocoran informasi nasabah, tindak pidana perbankan, dan tindakan lainnya yang disamakan dengan itu.
Melansir dari DetikNews.com, Rabu (8/3/2023), Polres Pandeglang telah mengungkap kasus kredit fiktif yang dilakukan oleh salah satu Bank BUMD Banten cabang Labuan, Kabupaten Pandeglang.
Sebanyak lima perusahaan konstruksi bodong diduga mengajukan kredit modal kerja konstruksi (KMKK) fiktif pada tahun 2018. Akibat dari kasus ini, Polisi mengamankan uang sebesar Rp 1,4 Miliar dari Bank tersebut.
Berdasarkan kutipan berita diatas, telah terjadi fraud banking pada salah satu bank di Pandeglang yang dimana bank memberikan pinjaman (kredit) namun nasabah tersebut menggunakan data-data yang fiktif, artinya data tersebut tidak benar atau bahkan bisa menggunakan data dari nasabah lain.
Lalu, apa itu kredit fiktif?
Kredit fiktif merupakan salah satu tindakan kejahatan (fraud) pada bidang kredit yang dilakukan oleh pihak internal (pegawai) bank dengan cara melakukan kolusi dengan nasabah pemohon kredit. (Otoritas Jasa Keuangan, 2017).
Dengan adanya tindakan fraud banking ini, tentunya akan menyebabkan kerugian dan menimbulkan risiko pada perbankan. Risiko yang dapat muncul dari kejahatan kredit fiktif ini diantaranya ialah risiko kredit, operasional, dan reputasi.
Risiko kredit dapat terjadi akibat kegagalan pihak lawan (dalam hal ini nasabah) untuk memenuhi kewajibannya. Akibatnya, akan menimbulkan kredit macet bagi suatu bank hingga menyebabkan kredit bermasalah.
Kredit bermasalah ini akan mengakibatkan kerugian pada bank, yaitu kerugian karena tidak diterimanya kembali dana yang telah disalurkan, maupun pendapatan margin yang tidak dapat diterima. Artinya, bank kehilangan kesempatan mendapat margin, yang berakibat pada penurunan pendapatan secara total.
Dengan terjadinya kegagalan ini, maka akan berimbas juga kepada kegagalan operasional suatu bank. Selain itu, kejadian ini juga akan menimbulkan perspektif negatif konsumen terhadap suatu bank, seperti berkurangnya tingkat kepercayaan konsumen kepada bank, yang akan menyebabkan reputasi bank menjadi menurun.
Maka, bank harus melakukan mitigasi atau manajemen atas risiko yang kemungkinan akan timbul dari kejahatan perbankan (fraud banking) untuk mempertahankan aktivitas usahanya.
Dari beberapa risiko yang akan timbul dari aktivitas kredit fiktif ini, berikut beberapa cara agar bank dapat menangani risiko perbankan:
1. Metode pengelolaan risiko kredit
– Penyaringan: bank melakukan penyaringan terhadap calon debitur dengan memberikan persyaratan sebaik mungkin.
– Pembatasan: setiap bank harus memiliki batasan kredit yang bisa diambil oleh calon nasabah yang biasa disebut dengan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK)
– Diversifikasi: dalam pemberian kredit kepada nasabah, bank melakukan penyebaran kredit berdasarkan jenis industri, perusahaan, skala perusahaan atau bidang usaha.
– Pengawasan Arus Kas: bank melihat kondisi arus kas perusahaan atau perseorangan yang dibiayai melalui mutasi aktivitas rekeningnya. Bank melakukan pemantauan arus kas risiko kredit yang diturunkan dengan menjaga exposure of default dan memastikan nasabah pada kesempatan pertama melakukan aksi-aksi perbaikan terhadap situasi yang terjadi.
2. Metode pengelolaan risiko operasional
– Bank melakukan pengelompokan risiko operasional berdasarkan frekuensi dan dampak terjadinya risiko.
– Bank mengidentifikasi risiko pada setiap produk, aktivitas, proses, serta sistem yang digunakan oleh bank.
– Evaluasi risiko operasional, bank melakukan perhitungan modal risiko operasional dengan cara menghitung kerugian terekspektasi dengan kerugian tak terekspektasi. Bank juga harus mengalokasikan sebagian modalnya untuk berjaga-jaga apabila risiko operasional terjadi.
Menurut Ikatan Bankir Indonesia (2015), beberapa alternatif yang dapat dilakukan oleh bank dalam pengendalian risiko operasionalnya, yaitu sebagai berikut:
– Menghindarkan risiko (risk avoidance)
Hal ini dilakukan untuk mencegah bank mengalami suatu risiko operasional yang tidak dapat diterima atau mencegah melakukan aktivitas lain yang dapat menambah eksposur risiko operasional sebelumnya.
– Menerima risiko (risk acceptance)
Bukan berarti menerima risiko adalah strategi do nothing. Kontrol dan pengawasan yang ketat harus dijalankan.
– Mengalihkan risiko kepada pihak lain (risk transfer)
Pihak perbankan mengalihkan risiko operasional yang muncul pada pihak lain. Misalnya, penggunaan jasa asuransi pada produknya.
– Mitigasi risiko melalui peningkatan kualitas kontrol
Hal ini dimaksudkan untuk memperkecil potensi kerugian yang dipicu oleh potensi risiko, baik dari faktor internal maupun eksternal.
3. Metode pengelolaan risiko reputasi
– Bank mengoptimalkan unit pengaduan nasabah. Setiap pengaduan dari nasabah harus ditindaklanjuti. Agar meningkatkan kepercayaan nasabah kepada bank.
– Optimalkan peran Publik Relation (PR), yakni dengan merancang dan mengorganisir strategi komunikasi yang berisi pesan-pesan yang tepat untuk audience, untuk menjaga reputasi bank dan meminimalisir risiko reputasi.
– Menyiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang terbaik dan menjunjung tinggi pelayanan baik dari sisi produk maupun kualitas (tata krama yang baik) dari SDM pada bank.
Editor : Firman