Oleh: Mochammad Farisi JAMBI, Beritategas.com
Dosen FH UNJA
Ketua Komunitas Peduli Pemilu dan Demokrasi (KOPIPEDE) Prov. Jambi
Sejatinya, hak politik dalam pemilu tidak hanya dipandang sebagai hak formalistik / reduktif / pementasan (joget-joget) semata tetapi harus bersifat hak subtantif. Hak politik adalah proses dimana partai politik mampu menseleksi calon wakil rakyat yang baik (memenuhi syarat moralitas dan keilmuan untuk dipilih) untuk didaftarkan dalam pemilu, dan disisi lain rakyat memiliki kecerdasan emosional yang cukup untuk memilih.
Hak politik merupakan titik awal bukan tujuan akhir, dan pemilu hanyalah sarana untuk mencapai cita-cita hukum yang harus dilaksanakan secara progresif untuk mencapai tujuan nasional negara yaitu kesejahteraan masyarakat.
Lihat saja hasil “sinetron” demokrasi, Indonesia masuk dalam fase krisis kepemimpinan: banyak pemimpin pemerintahan korupsi, pembangunan yang merusak lingkungan, mempengaruhi hukum untuk kepentingan pribadi, dan penyimpangan pemilu (intimidasi, tekanan terhadap pemilih, dan jual beli suara).
Data menunjukkan Indeks demokrasi Indonesia terjerembab ketitik dasar, versi Economist Intellegence Unit (EIU) tergolong cacat (flawed democracy) yaitu pada posisi 6,71 (2022). Berdasarkan data Freedom House indeks demokrasi turun, saat ini di angka 53 poin (2023), data Reporter Without Borders (RSF) pada angka 54, 83 poin (2023).
Bahkan United Nation Human Rights Committee juga memberikan catatan terhadap buruknya demokrasi Indonesia, dalam sebuah siaran pers pada 28 Maret 2024 mengungkap temuan berisi keprihatinan atas implementasi negatif dari Interational Convention on Civil and Political Rights (ICCPR), Indonesia mendapat sorotan terkait pelanggaran hak sipil dan politik adanya pengaruh yang tidak semestinya terhadap jalannya pemilu 2024, seperti: keputusan Mahkamah Konstitusi yang menurunkan syarat usia minimum kandidat dan menguntungkan putra presiden, dan terjadi pelecahan/intimidasi/penahanan sewenang-wenang terhadap tokoh oposisi.
Ayolah anak bangsa, masak Indonesia akan seperti ini terus, kusut. Mari bersama kita wujudkan Demokrasi yang bermartabat, demokrasi yang dijalankan dengan menjunjung tinggi HAM, kekuasaan pemerintahan dijalankan sesuai rule of law bukan rule by law, lembaga peradilan yang independen, keputusan pemerintah diambil berdasarkan suara terbanyak/musyawarah, pemimpin pemerintahan bertindak dengan moralitas yang tinggi, mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi/golongan, memberikan pendidikan dan contoh moral politik baik bagi warga negara dan tidak melakukan manipulasi politik yang menjadikan warga negara hanya sebagai instrument atau sarana penguasa untuk mencapai tujuan.
Pemerintah harus mulai serius membangun demokrasi yang substansial, harus memiliki dan memasukkan rencana pembangunan demokrasi yang ‘bermakna’ (meaningful participation) dalam RPJMN 2025-2029.
Pemerintah harus punya visi yang jelas pada pembangunan aspek politik, yaitu mewujudkan demokrasi substansial.
Sistem politik berjalan dengan lembaga perwakilan, sistem pemilu, dan partai politik yang mampu memperkuat sistem presidensial.
Budaya politik yang inklusif terwujud melalui kesantunan politik, toleransi, kejujuran, dan keterbukaan yang berlandaskan Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa.
Evaluasi terpenting dari pemilu 2024 dan hal urgen yang harus segera dilakukan adalah pertama penguatan lembaga demokrasi (partai politik) melalui revisi UU Parpol, membangun komitmen partai politik yang kuat, akuntabel berbasis digital, parlemen yang modern dan responsif serta organisasi parpol yang berbasis nilai. Kedua pendidikan politik bagi masyarakat dan menciptakan ruang publik/partisipasi dalam penyusunan, pelaksanaan dan pengawasan agar partisipasi politiknya semakin bermakna.
Pewarta : A.Erolflin
Editor : Firman