JAMBI, Beritategas.com – Pada dasarnya setiap orang yang melangsungkan ikatan perkawinan mempunyai tujuan yang ingin dicapai yakni kebahagian lahir maupun batin. Sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Uundang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
Perkawinan suatu ikatan lahir bathin dalam membentuk mahligai rumah tangga yang dilakukan dengan saling menyayangi, menghargai dan saling melengkapi satu dengan yang lain. Kedua belah pihak mempunyai tujuan yang sama yaitu dengan sama-sama menunjukkan saling mencintai dan saling menyayangi yang dibangun secara bersama-sama oleh kedua belah pihak. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadianya, membantu dan mencapai kesejahteraan.
Namun dalam perjalanannya, sering menemukan permasalahan pertengkaran, dan tidak menutup kemungkinan berujung Kekerasan. Kasus Kekerasan Dalam Rumah (KDRT) kian hari kian marak terjadi. Hal ini diungkapkan Ketua Tim Pengabdian Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Jambi (UNJA) Andi Najemi di Kampus Telanaipura Sabtu (07/10/2023).
“Kalau kita perhatikan saat ini Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) kian marak terjadi. Kasus ini bukan lagi persoalan individu (privasi) tetapi telah menjadi persoalan negara (public). Sehingga diperlukan tindakan dan perhatian khusus, baik oleh penegak hukum, maupun kita sebagai warga masyarakat”, ujarnya.
Korban KDRT yang kebanyakan adalah perempuan. Kekerasan dalam rumah tangga khususnya kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri, tidak hanya menimbulkan penderitaan fisik tetapi juga penderitaan psikis. Oleh karena itu korban KDRT harus mendapat perlindungan secara maksimal. Kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan suami terhadap istrinya dikategorikan sebagai perbuatan pidana karena terdapat kelakuan yang dilarang dan bersifat melanggar hukum.
Bentuk kasus KDRT yang terjadi di masyarakat, seperti kekerasan fisik, seksual dan psikis. Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT)mengatur bahwa tindak pidana kekerasan fisik, psikis, dan seksual merupakan delik aduan.
Terungkap adanya KDRT, tidak terlepas dari korban yang berani untuk melaporkan kasusnya kepada aparat penegak hukum. Kebanyakan adanya perasaan takut, ketidaktahuan, serta struktur budaya yang masih belum dipahami sebagian masyarakat dan juga mereka beralasan tidak mau tersebar karena menganggap adalah aib keluarga, dianggap sebagai urusan yang privat yang masih ditutup-tutupi yang mana orang lain tidak berhak ikut campur permasalahan keluarganya.
Menurut Andi yang dimaksud KDRT adalah perbuatan yang dilakukan kepada seseorang terutama perempuan yang mengakibatkan timbulnya penderitaan berupa kekerasan seksual, fiisik, psikologis atau penelantaran rumah tangga termasuk juga yang dapat menimbulkan pada rasa takut, rasa percaya dirinya hilang, hilangnya kemampuan untuk berbuat, dan menimbulkan penderitaan psikis berat pada seseorang. Kekerasan dalam rumah tangga dapat berbentuk penganiayaan fisik seperti memukul, menendang, menganiaya, dan lain-lain yang berupa kekerasan terhadap fisik.
Undang-undang Tentang Penghapusan KDRT merupakan dasar hukum yang dapat dipergunakan secara khusus untuk menyelesaikan kasus-kasus tindak pidana KDRT di Indonesia. Undang-Undang PKDRT memberikan penjelasan tentang tata cara proses dan cara penyelesaian kasus KDRT.
Upaya penghapusan KDRT menjadi sesuatu hal yang penting bagi negara, karena kasus KDRT cukup tinggi kasusnya, oleh karena itu memerlukan perhatian semua pihak dan perlu dilakukan penanganan dan penyelesaian secara serius.
Selain Pemerintah, Masyarakat juga punya tanggung jawab untuk mencegah terjadinya KDRT sebagaimana ketentuan Pasal 15 UU No.23 Tahun 2004 Tentang PKDRT “Setiap masyarakat wajib melakukan upaya-upaya pencegahan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga sesuai batas kemampuanya jika mengetahui atau menyaksikan perkara ini secara langsung”, Rumusan pasal tersebut dengan tegas menentukan peran masyarakat untuk : 1. Melakukan pencegahan terjadinya kekerasan; 2. Melakukan perlindungan terhadap korban; 3. melakukan pertolongan darurat; dan 4. Memberikan bantuan dalam proses pengajuan untuk mendapatkan perlindungan.
Dari kondisi yang ada masyarakat belum mengetahui bahwa siapa saja yang dapat melaporkan dan selain itu belum mengetahui bentuk kekerasan dalam rumah tangga itu apa saja yang dapat dilaporkan. Sehingga sebagai akademisi yang memiliki kewajiban untuk mengupayakan kesejahteraan keluarga perlu melakukan upaya pencegahan bersama dalam meminimalisir adanya kasus KDRT di lingkungan sekitarnya melalui penyuluhan hukum.
Oleh karena itu salah satu upaya yang dilakukan dalam pencegahan KDRT, Tim Pengabdian Kepada Masyarakat (PPM) Fakultas Hukum Universitas Jambi yang beranggotakan Andi Najemi, SH.,MH, Prof. Dr. Hafrida, SH.,MH, Yulia Monita, SH.,MH dan Dr. Erwin, SH.,MH. beberapa waktu yang lalu melakukan Sosialisasi tentang proses penyelesaian kekerasan dalam rumah tangga terhadap masyarakat Mudung Darat Kabupaten Muaro Jambi, Jambi.
Program pengabdian ini dilakukan guna memberikan bekal kepada masyarakat agar dapat mengetahui pencegahan perbuatan KDRT dan cara penyelesaiannya.
Dalam pasal 5 UU Nomor 23 tahun 2004 disebutkan yaitu: “Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam lingkup rumah tangganya, berupa: a. Kekerasan fisiik; b. Kekerasan psikis; c. Kekerasan seksual; atau d. Penelantaran rumah tangga”.
Dalam diskusi dan tanya jawab ada pertanyaan dari peserta apa tujuan dibentuk UU PKDRT?
Tim dapat menjelaskan bahwa tujuan dari adanya UU PKDRT, sebagaimana disebut dalam Pasal 4, meliputi:
1) mencegah terjadinya segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga;
2) melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga;
3) menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga;
4) memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
Kemudian siapa saja yang menjadi lingkup dan dilindungi dalam UU PKDRT tersebut?
Pasal 2 UU PKDRT menegaskan bahwa ruang lingkup dari undang-undang ini tidak hanya terhadap perempuan, tapi pihak-pihak, yaitu :
Suami, istri, dan anak;
Orang-orang yang memiliki hubungan keluarga baik karena darah, perkawinan persusuan, pengasuhan, dan yang menetap dalam rumah tangga;
Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap di dalam rumah tangga tersebut.
Kemudian untuk penyelesaian kasus KDRT salah satu cara yang dilakukan yaitu melalui Restorative justice system. Konsep restorative justice system adalah suatu proses untuk menyelesaikan secara bersama-sama melalui musyawarah antara pelaku dan korban akibat terjadinya tindak pidana dengan tetap memperhatikan kepentingan korban dan pelaku guna penyelesaian kasusnya.
Pendekatan restorative justice diartikan sebagai bentuk dan metode yang digunakan diluar sistem peradilan pidana untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi dan menemukan solusinya.
Restorative justice lebih mengutamakan tindakan penyelesaian alternatif di luar pengadilan melalui upaya perdamaian dan lebih mengutamakan prinsip win-win solution, dan dapat digunakan sebagai sarana penyelesaian sengketa melalui proses di luar pengadilan.
Penyelesaian kasus KDRT melalui proses di luar proses peradilan pidana pada saat ini semakin banyak dilakukan dan dapat diterima oleh masyarakat karena dirasakan lebih mampu memberikan rasa keadilan.
Menurut tim pengabdian, Restorative justice sebagai pilihan lain dalam penyelesaian kasus KDRT yang biasanya dilakukan melalui proses tata cara peradilan pidana, dan fokusnya adalah penjatuhan pidana, kemudian prosesnya dirubah menjadi proses musyawarah dan mediasi yang melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait.
Berdasarkan hal tersebut, maka kegiatan ini akan memberikan solusi dalam menyelesaikan kasus KDRT yang terjadi dalam masyarakat, karena masih banyaknya masyarakat yang kurang paham dalam penyelesaian kasusnya melalui proses diluar peradilan, sehingga terwujudnya kesepakatan dan perdamaian antara kedua belah pihak antara pelaku dengan korban dan mengutamakan pemulihan kembali pada keadaan semula dan mengembalikan pola hubungan baik dalam lingkup rumah tangga.
Berdasarkan diskusi diperoleh bahwa di Desa Mudung Darat Muaro Jambi, juga terjadi kasus kekerasan dalam rumah tangga seperti kekerasan fisik, seksual dan psikis, namun masih sedikit korban yang berani untuk melaporkan kasusnya kepada apparat penegak hukum. Hal ini disebabkan oleh adanya perasaan takut, ketidaktahuan, serta struktur budaya yang masih belum dipahami sebagian masyarakat dan juga mereka beralasan tidak mau tersebar karena menganggap adalah aib keluarga.
Sudah waktunya pemerintah bersama-sama masyarakat mencanangkan Zero tolerance terhadap kekerasan. Artinya tidak ada toleransi sekecil apapun terhadap tindakan kekerasan terhadap perempuan, baik dalam keluarga, masyarakat, dan negara.
Kepala Desa Mudung Darat, Kabupaten Muaro Jambi, Muhammad Ali meminta adanya sosialisasi secara berkala terhadap peraturan-peraturan yang lain, dengan tujuan untuk meningkatkan budaya hukum masyarakat. Sehingga Masyarakat akan memahami dan mengimplementasikan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta dapat mencegah terjadinya perbuatan yang bertentangan dengan hukum yang berlaku, ujar.
Kegiatan yang telah dilaksanakan di Aula Kantor Kepala Desa Mudung Darat dihadiri oleh peserta sekitar 50 orang terdiri dari Kepala Desa, Sekretaris Desa, Ketua RT, Bidan Desa dan perangkat desa lainnya.
Pewarta : A.Erolflin
Editor : Firman