Dan (ingatlah) ketika Isa ibnu Maryam berkata: “Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi khabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)”. Maka tatkala rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: “Ini adalah sihir yang nyata”. (QS AsShaff ayat 6)
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah yang dirahmati Allah,
Pada bulan ini, kita semua faham hampir hampir seluruh dunia bergembira dengan dilahirkannya beliau nabi kita Muhammad Salallahu alaihi wassalam, namun apa hikmah yang paling utama dibalik ini semua, sementara beliau diutus untuk menyempurnakan Akhlak, inilah jejak beliau yang paling utama untuk kita teladani agar setelah berbagai peraya’an Maulid Nabi nanti, kita mampu menjadi orang yang pema’af, dan berusaha menyeru saudara kita kepada kebaikan.
Maulid Nabi Muhammad SAW merupakan momentum untuk meneladani akhlakul karimah Rasulullah.
Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh. (QS. Al-A’raf: 199).
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
Pada suatu hari Ketika Uyaynah masuk menemui Umar, Uyaynah berkata, ‘Hai Umar, demi Allah, engkau tidak memberi kami dengan pemberian yang berlimpah, dan engkau tidak menjalankan hukum dengan baik di antara sesama kami.’ Maka Khalifah Umar murka, sehingga hampir saja ia menampar Uyaynah, tetapi Al-Hurr berkata kepadanya,’ Wahai Amirul Mu’minin, sesungguhnya Allah Swt, pernah berfirman kepada Nabi- Nya: “Jadilah engkau pemaaf dan serulah orang-orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. (Al-A’raf: 199) Dan sesungguhnya orang ini termasuk orang yang bodoh.”
Demi Allah, ketika ayat itu dibacakan kepada Umar, Umar tidak berani melanggarnya, dan Umar adalah orang yang selalu berpegang kepada Kitabullah” Hadis diketengahkan oleh Imam Bukhari secara munfarid.
Umar adalah salah satu sahabat nabi yang telah dijanjikan masuk syurga namun demikian beliau sangat luar biasa pengamalannya terhadap kitabullah Al Qur’an dan hadits sehingga beliau tidak berani menentang perintah Allah.
Boleh jadi egoisme kita sampai hari masih begitu tinggi, berat hati rasanya untuk mema’afkan kesalahan saudara saudara kita yang pernah menyakiti kita, pernah mendzolimi kita, pernah memfitnah kita, pernah mencaci maki kita, pernah mengambil hak kita, pernah menipu kita dan lain sebagainya, tapi pernahkah kita menyadari bahwa enggan mema’afkan berarti sama dengan kita melestarikan kebencian bahkan bukan hanya tiga hari, mungkin bisa tiga bulan atau tiga tahun bahkan bisa jadi ada yang tiga puluh tahun menyimpan benci, namun apakah kita Yaqin dengan membela hawa nafsu dan harga diri, bisa menjadi salah satu penduduk syurga…?