Dari perspektif pelaku usaha, kemampuan dan pengetahuan mereka dalam mengakses OSS RBA bervariasi. Mayoritas pelaku usaha mengakui bahwa mereka memiliki akses terbatas terhadap informasi OSS RBA, yang mereka peroleh secara mandiri atau melalui sosialisasi yang terbatas dalam frekuensi dan kedalaman informasi. Di sisi lain, dalam hal regulasi, pelaku usaha juga belum memahami secara menyeluruh mengenai turunan-turunan UU Cipta Kerja.
Permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam pengimplementasian sistem perizinan berusaha terintegrasi secara Elektronik atau dikenal dengan Online Single Submission (OSS) berbasis resiko di atas perlu mendapat perhatian khusus, terutama dari sisi kualitas pelayanan publik berbasis elektronik serta upaya pemerintah daerah memasarkan kebijakan tersebut.
Pelayanan Publik Berbasis Elektronik
Mick, Gleen, dan Fournier (1995) memperkenalkan Electronic Service Quality (E-S-Qual) sebagai alat untuk mengukur kualitas layanan elektronik.
Mereka mengamati bagaimana pengguna teknologi mengevaluasi pengalaman mereka dalam menggunakan layanan publik dan swasta berbasis teknologi, dengan hasil bisa berupa penilaian positif atau negatif tergantung pada dominasi kemampuan teknologi yang dipersepsikan oleh pengguna.
Perkembangan lebih lanjut, Parasuraman dan Malhotra (2000) mengembangkan skala E-Core Service Quality, yang terdiri dari empat dimensi utama: efisiensi, fulfillment (pemenuhan), system availability, dan privasi, yang masing-masing menggambarkan aspek kemudahan akses, kepatuhan terhadap janji layanan, ketersediaan sistem, dan keamanan informasi.
Selain meningkatkan kualitas pelayanan publik berbasis elektronik, pemerintah juga dituntut lebih responsif dan akuntabel dalam memberi layanan kepada publik. Layaknya sektor swasta yang fokus pada konsumen melalui marketing ataupun pemasaran.