Merawat Intelektualisme: Belajar dari Keberlakuan Asas Iktikad Baik dalam Hukum

Kemalasan intelektual itu menyebabkan banyak orang menjadi mudah terbawa arus besar anti-intelektualisme. Orang menjadi tidak lagi menghargai pikiran, bahkan sinis terhadap kedalaman pikiran. Orang juga tidak lagi peduli pada fakta dan logika, melainkan hanya berpegang pada keyakinan dan emosi, meyakini pemikirannya sebagai kenyataan yang hakiki.

Produksi dan penyebaran informasi bohong (hoaks) pada saat ini, menunjukkan anti-intelektualisme memang mewabah. Aktornya tidak lagi mengenal latar belakang pendidikan dan profesi. Tidak sedikit, yang terlibat adalah mereka yang sebetulnya terdidik.

Bapak, Ibu, dan Saudara sekalian,
Setelah mengetengahkan persoalan intelektualisme dan anti-intelektualisme, perkenankan saya memberi kontekstualisasi bahasan ini berdasarkan bidang ilmu yang saya tekuni, ilmu hukum. Latar historis kemunculan dan keberlakuan asas iktikad baik dalam hukum, barangkali menjadi sumber pembelajaran dalam merawat intelektualisme.

Dalam hukum, iktikad baik pada mulanya muncul dan berkembang dalam hukum kontrak atau perjanjian. Kontrak adalah persetujuan atau kesepakatan antar dua pihak atau lebih. Kesepakatan itu bisa tercapai karena didasari oleh kebebasan dan kehendak para pihak, dan karena itu apa yang disepakati oleh para pihak berlaku sebagai hukum yang mengikat.
Ketika sebuah kontrak dibuat, para pihak menjadi terikat untuk melakukan apa yang telah mereka nyatakan secara tegas. Ini melahirkan stricti juris contract, kontrak hukum yang ketat.

Hukum Romawi kemudian memperkenalkan bona fides (iktikad baik), bahwa orang harus berperilaku jujur dan adil dalam transaksi hukum. Dalam kontrak, bona fides menunjukkan saling ketergantungan dan pengendalian diri antar pihak. Dengan begitu, bona fides menimbulkan tugas bilateral bagi para pihak untuk menepati janji, tidak menipu pihak lain, dan mematuhi tugas yang dapat diimplikasikan sebagai masalah interpretasi kontrak yang adil.
Jadi, kemunculan asas iktikad baik dalam hukum kontrak karena “kepatutan” dianggap penting dalam hukum.

Belakangan terbukti, keberlakuan kontrak yang sebatas didasarkan pada kebebasan para pihak—sebagai ekspresi filsafat individualisme, memiliki banyak kelemahan dan kritik, karena justru menimbulkan ketidakadilan.

Dengan iktikad baik, yang secara subjektif berarti kejujuran dan secara objektif berarti kerasionalan dan kepatutan, hubungan kontraktual antar para pihak dipandang lebih memberi keadilan.

Pada bidang hukum lain, yang bukan merupakan hubungan hukum antar dua pihak sebagaimana hubungan kontraktual, iktikad baik juga muncul dalam perolehan hak, misalnya dalam hukum merek. Pada mulanya, dalam hukum merek yang berlaku, perlindungan hukum diberikan kepada mereka yang memakai merek pertama kali.

Pendaftaran merek, dalam sistem perlindungan demikian, hanya memberi dugaan hukum (rechtsvermoeden) bahwa pendaftar adalah pemakai pertama. Akibatnya, banyak kemudian merek yang sudah digunakan di luar negeri, bahkan masuk kategori terkenal, namun karena belum beredar produknya di pasar domestik, yang berarti mereknya belum dipakai, didaftarkan secara persis oleh para pengusaha dalam negeri.

Untuk bisa mendaftar, para pengusaha ini cukup melekatkan merek tersebut pada sejumlah barang yang terbatas. Setelah terdaftar atas namanya, merek tersebut menjadi tidak bisa digunakan ketika pemilik asal dan sebenarnya, yang sebelumnya telah terlebih dahulu menggunakannya di pasar luar negeri, ingin masuk ke pasar domestik.

Sistem perlindungan merek demikian itu dipandang oleh pengadilan memiliki kelemahan. Sebab, dengan alasan “pemakai pertama” (first to use), hukum justru memberi perlindungan kepada orang yang meniru bahkan sebagian menjiplak persis merek pihak lain.

Ikuti Kami di :banner 300x250
banner 300x250banner 300x250banner 300x250banner 300x250banner 300x250

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.