JAMBI, Beritategas.com – Kebakaran hutan di sejumlah Provinsi di Indonesia dari tahun ke tahun kerap berulang terjadi, meski tahun ini tidak separah seperti di tahun-tahun sebelumnya. Berbagai faktor menjadi alasan mengapa kebakaran terjadi.
Kemudian tak hanya menyebabkan kerugian bagi daerah namun juga bagi masyarakat.
Serta kebakaran hutan telah menimbulkan asap yang berdampak pada polusi udara.
Polusi udara yang ditimbulkan akibat kebakaran hutan tidak hanya dirasakan di Indonesia tetapi juga di negara-negara tetangga, khususnya Singapura dan Malaysia.
Hal ini dikemukakan Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Ph.D Guru besar hukum internasional Universitas Indonesia sebagai narasumber pada kegiatan Seminar Nasional Pencemaran Lintas Batas Internasional Akibat Kebakaran Hutan di hotel Aston Jambi, Sabtu (25/11/2023).
Asap yang dibawa angin hingga negara-negara tetangga berakibat kerugian bagi negara-negera tersebut, mulai dari polusi udara hingga penyakit ISPA bahkan kerugian ekonomi.
Secara hukum, asap yang berasal dari kebakaran hutan Indonesia dapat menjadi dasar bagi negara yang terdampak untuk meminta ganti rugi kepada Indonesia. Hal ini karena Indonesia telah lalai dalam menangani terjadinya kebakaran hutan dan penanganan asap dari kebakaran hutan tersebut.
Menurut Prof. Hikmahanto yang juga sebagai Rektor Universitas Jenderal A.Yani, Jakarta, Indonesia bisa tidak terkena tuntutan ganti rugi bila Indonesia menandatangani perjanjian internasional dengan negara tetangga untuk penanganan kebakaran hutan dan penanganan asap.
Perjanjian internasional ini akan memberi akses kepada negara lain untuk turut dalam penanganan pencegahan kebakaran hutan hingga penanganan asap.
Memang Indonesia akan kehilangan sebagian kedaulatannya untuk penanganan kebakaran hutan bila menandatangani perjanjian internasional.
“Namun bila melihat kemampuan Indonesia menangani masalah kebakaran hutan tidak memadai dan ketidakmampuan ini dijadikan basis untuk meminta ganti rugi dampak dari asap maka akan lebih baik bila Indonesia menandatangani Perjanjian Internasional,” ujarnya.
ASEAN pada tahun 2002 telah berhasil membuat Perjanjian Internasional terkait asap lintas batas yaitu ASEAN Agreement on Transboundary Pollution (AATP).
Indonesia merupakan negara yang paling akhir untuk mengesahkan AATP yaitu dengan UU Nomor 26 Tahun 2014.
Terlambatnya Indonesia melakukan pengesahan karena ada perdebatan di dalam negeri terkait mampu tidaknya Indonesia melakukan penanganan terhadap kebakaran hutan.
Penegakan Hukum oleh Singapura
Tindakan Singapura untuk memeriksa anggota Direksi atau Komisaris perusahaan Indonesia yang diduga melakukan kebakaran hutan berdasarkan Singapore Transboundary Haze Pollution Act No. 24 harus ditentang.
Karena tindakan Singapura tidak sesuai dengan spirit dari ASEAN Haze Pollution karena mengambil yurisdiksi hukum Indonesia untuk melakukan penegakan hukum.
Seharusnya Singapura melakukan perbantuan kepada Indonesia untuk melakukan pencegahan dan penanganan kebakaran hutan dan tidak sampai mengambil yurisdiksi hukum Indonesia untuk menyidik menuntut dan mengadili yang diduga sebagai pelaku.
Indonesia Memiliki Yurisdiksi Eksklusif Penegakan Hukum
Indonesia harus dapat melakukan penegakan hukum terhadap yang diduga sebagai pelaku pembakaran hutan. Indonesia berdasarkan Agreement on Haze Pollution tidak menyerahkan yurisdiksi hukumnya ke negara manapun.
Seminar Nasional Pencemaran Lintas Batas Internasional Akibat Kebakaran Hutan seminar yang di diadakan oleh Program studi magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Jambi, juga menghadirkan Guru Besar Fakultas Hukum UNJA/rektor terpilih Prof. Dr. Helmi. S.H.,M.H. menyoroti bahwa penegakan hukum baru “efek kejut” belum menimbulkan efek jera bagi mengutamakan refrensif (hukum pidana dan perdata) yang berorientasi pada penanggulangan pada saat dan setelah terjadi Karhutla.
Selanjutnya menurut Helmi, dampak kebakaran hutan dan lahan tidak hanya merusak ekosistim saja tapi juga merusak kesehatan, ekonomi dan juga kerugian sosial.
Sekda Provinsi Jambi, H. Sudirman, SH.,MH saat menghadiri dan membuka seminar nasional yang di gelar magister ilmu hukum Universitas Jambi itu menyebutkan bahwa sampai dengan Oktober 2023 kebakaran hutan dan lahan bisa dikendalikan, dan yang paling kecil kebakaran lahan gambut hal ini dapat kita atasi berkat kerjasama antara masyarakat, dan pemerintah.
Turut hadir dalam seminar tersebut Dekan Fakultas Hukum Dr. Usman,SH.,M.H, Ketua Program Magister Ilmu Hukum Dr. Taufik Yahya, SH.,M.H, Ketua Pelaksana Dr. H. Syamsir,SH.,M.H.
Pewarta : A. Erolflin
Editor : Firman