Oleh : Ferdiyan Ganesha, S.H.
Managing Partner ABGAN LAW FIRM
“Ubi societas ibi ius” yang bermakna dimana ada masyarakat disitu ada hukum, merupakan adagium yang diungkapkan oleh tokoh hukum Romawi Marcus Tullius Cicero (106-43 SM), juga menjadi identitas Negara Republik Indonesia yang tertuang dalam Undang – Undang Dasar 1945, yakni pada Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 menegaskannya dengan istilah bahwa Indonesia adalah “negara berdasarkan atas hukum” (Rechstaat), sehingga penegasan konstitusi tersebut memperkuat konsepsi bahwa negara Indonesia bukan berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat).
Dalam konteks Indonesia sebagai negara hukum, penegakan hukum bertujuan untuk mewujudkan cita-cita negara sebagaimana amanat Pembukaan UUD NRI tahun 1945, yakni tata kehidupan negara yang dapat melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Di usia Indonesia yang ke-75 tahun, bisa dikatakan bahwa negara hukum masih merupakan cita dan impian semata.
Sehingga negara melalui tangan penguasa memiliki tanggung jawab membuat negara menjadi sarana untuk mewujudkan keadilan bagi seluruh warga negaranya tanpa tebang pilih.
Hukum juga tidak bisa dan boleh dimaknai hanya sebagai upaya penegakan hukum semata. Masih sangat sering terjadi, sebuah kejahatan hanya dimaknai simbolis normatif, bukan dari tinjauan filosofinya, sehingga yang tercipta adalah ’hukum yang menghukum’ (law to punish) bukan ’hukum yang berkeadilan’ (law for justice).
Realitas tersebut telah menyebabkan rasa keadilan di tengah masyarakat terciderai. Tidak sedikit kasus masyarakat kecil yang jauh dari pengetahuan hukum menjadi bulan-bulanan penegakan hukum, sementara penguasa dan pengusaha yang mampu “menguasai dan membeli” hukum dapat lepas dan bebas dari jeratan hukum.
Indikator berhasilnya penegakan hukum adalah bila tercipta sinergi pada tiga pilarnya yakni peraturan perundangan yang dibuat, kesadaran hukum masyarakatnya dan penegakan hukum.
Menurut Prof. Soerjono Soekanto (2004), sebuah peraturan perundangan harus memenuhi unsur yuridis, sosiologis, dan filosofis. Secara ideal unsur-unsur itu harus harmonis, artinya tidak saling bertentangan baik secara vertikal maupun secara horizontal antara yang satu dengan yang lainnya, Bahasa yang dipergunakan harus jelas, sederhana, dan tepat karena isinya merupakan pesan kepada warga masyarakat yang terkena peraturan perundangan itu. Maka pada hakikatnya peraturan perundangan yang dibuat bukan hanya mencakup law enforcement saja, namun juga peace maintenance, karena peraturan perundangan sesungguhnya merupakan proses penyerasian antara nilai kaidah dan pola perilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai kedamaian.
Selanjutnya dalam hal kesadaran hukum, menurut pendapat Sudikno Mertokusumo (1981), adalah kesadaran tentang apa yang seyogyanya kita lakukan atau perbuat atau yang seyogyanya tidak kita lakukan atau tidak kita perbuat terutama terhadap orang lain. Kesadaran hukum dalam konteks ini berarti kesadaran untuk bertindak sesuai dengan ketentuan hukum. Kesadaran hukum masyarakat merupakan semacam jembatan yang menghubungkan antara peraturan perundangan dengan tingkah laku hukum anggota masyarakat. Seorang pakar hukum Amerika, Lawrence Friedman lebih condong menyebutnya sebagai bagian dari “kultur hukum”, yaitu nilai-nilai, sikap-sikap yang mempengaruhi bekerjanya hukum. Alhasil, mempertanyakan kesadaran hukum masyarakat pada prinsipnya mempertanyakan penegakan hukum.
Yang terakhir adalah penegakan hukum, yakni apakah para penegak hukum sudah betul-betul melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan baik.
Dalam berfungsinya hukum, mentalitas atau kepribadian aparat penegak hukum memainkan peranan penting, kalau peraturan perundangan sudah baik, tetapi kualitas aparat penegak hukum kurang baik, ada masalah.
Sehingga, salah satu kunci keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian aparat penegak hukum. Sebagaimana pendapat Prof. J. E. Sahetapy, “Dalam rangka penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebijakan. Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan.
Dalam kerangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegakan hukum (inklusif manusianya) keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, harus terasa dan terlihat, harus diaktualisasikan”. Menyangkut kepribadian dan mentalitas aparat penegak hukum, selama ini ada kecenderungan yang kuat di kalangan masyarakat mengidentikkan peraturan perundangan dengan tingkah laku aparat penegak hukum.
Karena tidak bisa dipungkiri faktanya masih terjadi dalam melaksanakan wewenangnya, sikap atau perlakuan aparat penegak hukum terkadang melampaui wewenangnya atau perbuatan lainnya yang dianggap melunturkan citra dan wibawa aparat penegak hukum.
Sehingga harapan agar penegakan hukum yang dapat menciptakan kedamaian, tanpa tebang pilih, tidak berat sebelah dan penjatuhan hukuman sebagai upaya terakhir sebagaimana disimbolkan dalam wujud Iustitia (Dewi Keadilan) dapat menjadi kado terindah di usia kemerdekaan Indonesia yang ke-75 ini.
Editor : Firman