Politik Dinasti Di Negara Demokrasi Pada Fenomena Pemilu 2024

Oleh: Rika Agustina
Mahasiswa ilmu pemerintahan UIN STS Jambi

Indonesia memegang prinsip negara berdasarkan hukum, sehingga segala hal harus berlandaskan pada norma-norma hukum yang berlaku. Otoritas negara perlu dijalankan dengan mematuhi aturan hukum yang berlaku. Pemerintahan yang dimaksud meliputi tidak hanya kekuasaan politik, tetapi juga wewenang dalam melaksanakan tugas saat mereka berada di puncak kekuasaan maupun saat terjadi pergantian kepemimpinan.

Pergantian kepemimpinan memiliki peran yang sangat signifikan dalam negara-negara yang menerapkan prinsip demokrasi. Apabila terjadi pelanggaran aturan hukum dalam jalannya proses ini, maka dapat dianggap sebagai tidak menjunjung tinggi demokrasi. Dalam proses pergantian kepemimpinan, sangat penting untuk mengikutsertakan sebanyak mungkin partisipasi dari masyarakat sebagai bentuk pemerintahan yang fokus pada kepentingan publik.

Dinasti secara umum berarti pengendalian kekuasaan dalam pemerintahan oleh sekelompok orang yang memiliki hubungan darah atau keluarga. Biasanya, politik dinasti dikenal dalam konteks kerajaan, di mana seorang raja menyerahkan takhtanya kepada putranya untuk melanjutkan kepemimpinan. Dengan demikian, kekuasaan tetap berada dalam lingkaran keluarga, yang menjadikan politik dinasti sebagai upaya untuk mempertahankan kekuasaan dalam satu kelompok tertentu.

Akibat dari praktik politik dinasti banyak pemimpin yang memiliki kedudukan yang signifikan dalam politik. Sebagai akibatnya, seluruh anggota keluarga mereka berupaya untuk terlibat dalam sistem pemerintahan. Timbulnya pemerintahan dinasti terjadi karena beberapa faktor, seperti keserakahan individu atau keluarga untuk mempertahankan kekuasaan, kelompok terstruktur yang sepakat untuk menguasai dan membentuk kekuatan kolektif, serta pemisahan antara kekuasaan politik dan keuangan yang menyebabkan terjadinya tindak korupsi.

Dengan adanya politik dinasti, banyak pemimpin yang menjadi politisi berpengaruh sehingga anggota keluarga mereka secara aktif berkompetisi untuk terlibat dalam pemerintahan. Jika politik dinasti terus berlanjut, maka akan muncul konsekuensi buruk yang dapat timbul. Satu konsekuensi negatifnya adalah partai tersebut tidak lagi menjalankan peran idealnya sebagai partai politik, sehingga tujuannya hanya terfokus pada perebutan kekuasaan.
Analisis terhadap fenomena pemilu 2024 mengindikasikan bahwa pemilihan politik yang didominasi oleh keluarga kerap terjadi pada periode tersebut.

Dikutip dari Kompas.com menurut temuan Centre for Strategic and International Studies (CSIS), sebagian besar calon legislatif (caleg) muda yang berpotensi menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada periode 2024-2029 memiliki keterkaitan dengan dinasti politik.

CSIS mencatat bahwa pada Pemilu 2024, terdapat 87 caleg muda yang memiliki peluang untuk masuk ke Parlemen. Dalam 50 dari jumlah tersebut, terdapat anggota keluarga elit dari partai politik.

Informasi ini tercatat dalam dokumen CSIS yang disusun oleh Arya Fernandes, yang menjabat sebagai Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial.

Lebih dari separuh, yaitu sekitar 57.5% atau sekitar 50 orang dari total 87 anggota DPR yang berusia kurang dari 40 tahun memiliki keterhubungan dengan dinasti politik.

Banyaknya tren keluarga politik yang melibatkan dalam Pemilu 2024 menjadikan tantangan besar bagi politisi yang berusia muda untuk mendapatkan tempat di parlemen.

Bila dilihat dari segi hukum, politik dinasti adalah kegiatan politik yang sesuai dengan konstitusi di Indonesia.
Di masa sebelumnya, sudah ada usaha untuk menghentikan perkembangan politik dinasti melalui pasal 7 dalam Undang Undang Pilkada tahun 2015 yang diubah oleh UU Nomor 8 tahun 2015. Pasal tersebut menetapkan persyaratan bagi calon kepala daerah, salah satunya adalah tidak memiliki benturan kepentingan dengan bidang pertahanan. Namun, Mahkamah Konstitusi kemudian membatalkan peraturan tersebut. MK memutuskan bahwa larangan pencalonan Kepala Daerah tersebut tidak adil terhadap hak politik warga negara untuk mencalonkan diri dan terpilih dalam kontestasi politik.

Kemunculan keputusan MK tersebut yang memperbolehkan praktik politik dinasti tersebut ditakutkan akan membuat pengendalian pertumbuhan politik dinasti menjadi semakin rumit. Setelah putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, fenomena dinasti politik semakin tinggi dan meluas.

Meningkatnya praktik politik dinasti mengakibatkan kekhawatiran akan terjadinya kerusakan prinsip-prinsip demokrasi dalam sistem pemerintahan. Ini dapat menimbulkan salah guna kekuasaan yang dapat menghambat kemajuan pembangunan.

Sistem politik dinasti yang saat ini semakin banyak, tidak cocok untuk diimplementasikan di negara yang mengadopsi sistem demokrasi ini. Sistem politik dinasti ini sesuai untuk diterapkan pada negara-negara yang menerapkan sistem monarki, di mana pemimpin dipilih berdasarkan garis keturunan. Di negara-negara yang menerapkan sistem demokrasi, politik dinasti dianggap tidak tepat karena berpotensi menciptakan praktik nepotisme.

Editor : Firman

Ikuti Kami di :
banner 300x250

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.